Selamat Datang Di Blog Sederhana Saya

Sunday 26 May 2019

Pemikiran Fiqih Etika dan Sosial KH Sahal Mahfudz


Pemikiran Fiqih Etika dan Sosial KH Sahal Mahfudz
Oleh : Satria Avianda Nurcayo (32501700020)

Biografi Intelektual KH. Sahal Mahfudh
       Di tahun 1930an, kehidupan ekonomi di desa Kajen sangat menghimpit. Para penduduk mengalami kesulitan ekonomi yang sangat luar bisa. Beras masih menjadi makanan yang sangat istimewa kala itu. Tidak setiap hari mereka dapat makan nasi. Hanya keluarga elit saja yang dapat mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok sehari-hari. Mereka mengganti nasi dengan ubi-ubian sebagai makanan pokok [1]. Dalam kondisi yang kurang menguntungkan secara ekonomi inilah Sahal Mahfudh lahir. Ia dilahirkan dari keluarga KH. Mahfudh Salam di desa Kajen pada tanggal 31 Desember 1937 (sumber lain menyebutkan 17 Desember 1937 dan 16 Februari 1933) dengan nama lengkap Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh[2]. Namaya disandarkan kepada ayahnya, sedang ibunya bernama Nyai Badiah yang berasal dari Rembang. Dia tumbuh dan berkembang dalam tradisi pesantren yang sangat kuat. Ayahnya adalah pimpinan Pondok Pesantren Maslakhul Huda yang didirikan oleh kakeknya KH. Abdussalam pada tahun 1910, yang dibantu oleh puteranya yang bernama KH. Mahfudh Salam.
       Secara singkat, background pendidikan yang ditempuh oleh Sahal Mahfudh muda dimulai dari Madrasah Ibtidaiyah (1943-1949), Madrasah Tsanawiyah di Perguruan Islam Matholiul Falah (1950-1953) Kajen Pati, Pesantren Bendo Kediri (1954-1957), Pesantren Sarang Rembang (1957-1960), dan kemudian dilanjutkan belajar di Mekah di bawah bimbingan langsung Syekh Yasin al-Fadani. Ketika kita melihat bagaimana Sahal Mahfudh muda menghabiskan masa belajarnya dari satu pesantren ke pesantren yang lain, secara sederhana kita akan mengakui bahwa kualifikasi dan kapasitas ilmu keislaman yang dimiliki oleh Sahal Mahfudh tidaklah sedikit, terlebih dalam kajian fiqhnya.
     Pada tahun 1969, KH. Sahal Mahfudh menikah dengan Nafisah binti KH. Abd. Fatah Hasyim pengasuh pesantren Fathimiyah Tambak Beras Jombang. Sejak tahun 1963 sampai 2014, Pesantren Maslakul Huda dipimpin oleh KH. Sahal Mahfudh. Di bawah kepemimpinannya, Pesantren Maslakul Huda mulai mengembangkan sistem pendidikannya.  Kegiatan di pesantren ini tidak hanya mengajarkan al-Qur’an dan kitab-kitab klasik dengan sorogan dan bandongan saja, tetapi sudah menggunakan model pengajaran yang lebih modern. Kegiatan belajar para santri sudah menggunakan pola dialogis seperti musyawarah atau diskusi, sebagai pengembangan muraja’ah (mengulang pelajaran) dan muzakarah (mengkaji bahan pelajaran). Mata pelajaran di pesantren pun ditambah dengan ilmu-ilmu umum seperti bahasa asing dan ilmu kemasyarakatan.
Tidak hanya aktif membina pesantren, KH. Sahal Mahfudh juga aktif di dunia kampus dengan menjadi dosen kuliah Takhassus tahun 1966-1970 di Kajen dan menjadi dosen di Fakultas tarbiyah Uncok Pati tahun 1974-1976. Kemudian pada tahun 1982-1985 menjadi dosen di Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang. Selain itu ia juga aktif sebagai kolumnis di Majalah Aula (1988-1990) dan kolumnis tetap di Harian Suara Merdeka Semarang sejak 1991. ia juga menjabat sebagai Rektor INISNU hingga menjadi UNISNU sejak tahun 1989-2014. Sebelumya pada tahun 1980 ia pernah menjabat sebagai ketua MUI cabang Pati, kemudian menjabat sebagai Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Tengah selama 10 tahun, terhitung sejak tahun 1990 hingga tahun 2000. Karirnya berlanjut ke tingkat nasional sebagai Ketua Umum MUI Pusat selama tiga periode, yaitu sejak tahun 2000 hingga 2014.[3]
Gagasan Fiqh  Etika dan  Sosial Sebagai Solusi Problematika Umat
       Formulasi gagasan fiqh sosial yang dirumuskan oleh KH. Sahal Mahfudh berpijak pada sebuah pandangan bahwa seorang muslim harus berusaha keras untuk mencapai sa’adatuddarain (kesejahteraan dunia dan akhirat).[4] Pemenuhan kebutuhan spiritualitas jelas menjadi tujuan utama karena kebahagiaan akhirat hanya dapat diwujudkan apabila manusia memenuhi kebutuhan spiritualnya. Namun di sisi lain, manusia juga harus dihadapkan pada kenyataan bahwa ia harus tunduk pada hukum-hukum yang mengikat kehidupan dunianya. Maka kehidupan dunia yang sepenuhnya bersifat kontemporer dan maya berhubungan secara integratif dan kausatif dengan kabahagiaan ukhrawi yang kekal dan hakiki. Meskipun selintas tampak kontradiktif, sebetulnya tidak ada yang aneh dalam hal ini karena akhirat hanya menyediakan satu-satunya jalan bagi pencapaiannya, yaitu kehidupan dunia.[5]
       Untuk memperkuat landasan fiqh sosialnya, KH. Sahal Mahfudh menyebut konsep al-mashlahah al-‘ammah (kepentingan umum) sebagai salah satu landasan hukum dan menjadi pertimbangan terdepan dalam membuat suatu kebijakan.[6] Al-mashlahah al-‘ammah ini kemudian secara teknis dioperasionalkan oleh kalangan fuqaha dalam istilah maqashid al-syari’ah (tujuan utama syariat) yang meliputi pemeliharaan atas agama, akal, jiwa, nasab (keturunan), dan harta benda.
       Tokoh yang sangat berjasa dalam meletakkan kelima komponen maqashid al-syari’ah di atas adalah al-Ghazali yang memasukkannya dalam kategori dharuriyyat (kebutuhan primer) di samping hajiyyat (kebutuhan sekunder) dan tahsiniyyat (tersier). Maqashid al-syari’ah ini kemudian di tangan al-Syatibi menjadi disiplin keilmuan yang mandiri mengingat ilmu ini sebelumnya hanya menjadi bagian kecil dalam kajian ushul fiqh. Di perjalanan selanjutnya, maqashid al-syari’ah tidak hanya digunakan sebagaa sebuah landasan dalam kajian fiqh dan ushulnya, tetapi sudah masuk dalam wilayah kajian tafsir al-Qur’an sehingga muncullah corak penafsiran maqashidi.  Di Indonesia, mata rantai kluster keilmuan maqashid al-syari’ah ini diteruskan dan diterjemahkan ke dalam lokalitas masyarakat oleh KH. Sahal Mahfudh sehingga muncullah fiqh sosial sebagai operasionalisasi dari komponen maqashid al-syari’ah tersebut. KH. Sahal telah memberikan kontribusi yang sangat penting dalam khazanah pemikiran hukum Islam di Indonesia kontemporer, dan bisa disebut kontribusi yang diberikan terbilang unik. Hal itu karena KH. Sahal setidaknya berkontribusi dalam dua sisi, yaitu sisi gagasan dan sisi implementatif.
       Dari sisi gagasan, KH. Sahal telah meramaikan diskursus fiqh Indonesia dengan mempopulerkan gagasan fiqh sosialnya yang menegaskan bahwa mengatasi masalah sosial yang kompleks dipandang sebagai perhatian utama syariat Islam.[7] Adapun dari sisi implemetatif, KH. Sahal mengimplementasikan semangat dan ajaran fiqh sosial dengan menggerakkan para santri dan masyarakat dalam mengelola lembaga swadaya seperti BPPM untuk memecahkan problem sosial saat itu.         Dengan demikian, kata KH. Sahal, fiqh sosial memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai alat untuk mengukur realitas sosial dengan ideal-ideal syariat yang berujung pada hukum halal atau haram, boleh atau tidak boleh, dan pada saat yang sama menjadi alat rekayasa sosial, atau social control dan fungsi hukum sebagai social engineering sebagaimana dalam ilmu hukum.          Pemikiran KH. Sahal bahwa fiqh memiliki fungsi ganda ini agaknya merujuk pada pandangan yang berkembang dalam kajian ilmu hukum. Seperti dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, jika hukum dihadapkan dengan perubahan sosial maka ia akan menempati salah satu dua fungsi. Pertama, bisa berfungsi sebagai saran kontrol sosial (social control) atau sarana untuk mempertahankan solidaritas sosial. Hukum berfungsi demikian karena tertinggal dari perubahan. Kedua, hukum bisa pula berfungsi sebagai sarana mengubah masyarakat (social engineering). Dalam hal ini, hukum dipandang sebagai sarana pengubah struktur sosial yakni apabila perubahan sosial terlambat dari perubahan hukum sehingga hukum dengan segala perangkatnya berperan untuk membawa masyarakat ke dalam suatu tatanan baru.[8]       Hanya saja, pikiran KH. Sahal memiliki kekhasan karena berusaha memadukan kedua fungsi itu dalam satu garis kontinum atau satu rangkaian kesatuan. Hal ini kemungkinan didasari sikap kehati-hatian KH. Sahal untuk tetap mengakomodasikan keberadaan fiqh yang substansinya memiliki keterkaitan langsung dengan ketetapan ilahian atau bukan semata-mata produk pemikiran manusia.
       Dalam analisis KH. Sahal, kedua fungsi hukum itu hanya mungkin direalisasikan jika produk dan perangkat penalaran yang dimiliki fiqh dikembangkan secara kontekstual. Dalam hal ini, menarik untuk mengangkat hasil yang telah dirumuskan oleh serangkaian halaqah NU yang bekerja sama dengan dengan RMI dan P3M bahwa fiqh sosial memiliki lima ciri pokok yang menonjol. Pertama, interpretasi teks-teks fiqh secara kontekstual. Kedua, perubahan pola bermazhab dari bermazhab secara tekstual (qauli) ke bermazhab secara metodologis (manhaji). Ketiga, verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu’). Keempat, fiqh dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara. Kelima, pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah budaya dan sosial.[9]        
Kesimpulan
Gagasan fiqh sosial bukan sesuatu yang sepenuhnya baru karena fiqh pada dasarnya sudah mengandung dimensi sosial kemasyarakatan. KH. Sahal Mahfudh mempopulerkan terma fiqh sosial di belantara pemikiran hukum Islam di Indonesia bertujuan untuk merekonstruksi pemahaman umat Islam yang memandang fiqh selalu identik dengan permasalahan ubudiyyah. Di tangan KH. Sahal, fiqh yang pada awalnya merupakan diterminer kebenaran orthodoksi berubah haluan menjadi pemaknaan sosial.Fiqh sosial memandang bahwa urusan memecahkan berbagai macam persoalan kemasyarakatan yang sangat kompleks merupakan salah satu tujuan utama syariat Islam yang terakomodir dalam maqashid al-syariah. Konsep al-mashlahah al-‘ammah (kepentingan umum) menjadi pijakan dasar dalam proses pengambilan hukum di dalam kajian fiqh sosial. KH. Sahal tidak hanya berkontribusi dalam mempopulerkan fiqh sosial dalam tataran gagasan, tetapi juga telah mengoperasionalkannya secara nyata dalam tataran implementatif. Upaya KH. Sahal ini perlu diapresiasi dengan menyebarkannya, khususnya di kalangan pesantren agar pemahaman yang kaku dan tekstual atas fiqh dapat diminimalisir. Selain itu, gagasannya perlu ditindaklanjuti agar juga bisa berkontribusi dalam menjawab tantangan kontemporer.







[1] Arif Agus Trisno, “Biografi KH. Sahal Mahfudh (1937-2014)”, Skripsi Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga tahun 2014, hlm. 26

[2] Faiqoh, Nyai Agen Perubahan di Pesantren, (Jakarta: Kucica, 2003), hlm. 204

[3] Arif Agus Trisno, “Biografi KH. Sahal Mahfudh. hlm. 38-42
[4] Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial , hlm. xxvii
[5] Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial , hlm. xxvii
[6] Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial , hlm. xx
[7] Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial , hlm. 8
[8] Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial (Bandung: Alumni, 1983) hlm. 193
[9] Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial , hlm. xxxvi