Pemikiran Fiqih
Etika dan Sosial KH Sahal Mahfudz
Oleh : Satria Avianda Nurcayo (32501700020)
Biografi Intelektual KH. Sahal Mahfudh
Di tahun 1930an, kehidupan ekonomi di
desa Kajen sangat menghimpit. Para penduduk mengalami kesulitan ekonomi yang sangat
luar bisa. Beras masih menjadi makanan yang sangat istimewa kala itu. Tidak
setiap hari mereka dapat makan nasi. Hanya keluarga elit saja yang dapat
mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok sehari-hari. Mereka mengganti nasi
dengan ubi-ubian sebagai makanan pokok [1]. Dalam
kondisi yang kurang menguntungkan secara ekonomi inilah Sahal Mahfudh lahir. Ia
dilahirkan dari keluarga KH. Mahfudh Salam di desa Kajen pada tanggal 31
Desember 1937 (sumber lain menyebutkan 17 Desember 1937 dan 16 Februari 1933)
dengan nama lengkap Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh[2].
Namaya disandarkan kepada ayahnya, sedang ibunya bernama Nyai Badiah yang
berasal dari Rembang. Dia tumbuh dan berkembang dalam tradisi pesantren yang
sangat kuat. Ayahnya adalah pimpinan Pondok Pesantren Maslakhul Huda yang
didirikan oleh kakeknya KH. Abdussalam pada tahun 1910, yang dibantu oleh
puteranya yang bernama KH. Mahfudh Salam.
Secara singkat, background pendidikan
yang ditempuh oleh Sahal Mahfudh muda dimulai dari Madrasah Ibtidaiyah
(1943-1949), Madrasah Tsanawiyah di Perguruan Islam Matholiul Falah (1950-1953)
Kajen Pati, Pesantren Bendo Kediri (1954-1957), Pesantren Sarang Rembang
(1957-1960), dan kemudian dilanjutkan belajar di Mekah di bawah bimbingan
langsung Syekh Yasin al-Fadani. Ketika kita melihat bagaimana Sahal Mahfudh
muda menghabiskan masa belajarnya dari satu pesantren ke pesantren yang lain,
secara sederhana kita akan mengakui bahwa kualifikasi dan kapasitas ilmu
keislaman yang dimiliki oleh Sahal Mahfudh tidaklah sedikit,
terlebih dalam kajian fiqhnya.
Pada
tahun 1969, KH. Sahal Mahfudh menikah dengan Nafisah binti KH. Abd. Fatah
Hasyim pengasuh pesantren Fathimiyah Tambak Beras Jombang. Sejak tahun 1963
sampai 2014, Pesantren Maslakul Huda dipimpin oleh KH. Sahal Mahfudh. Di bawah
kepemimpinannya, Pesantren Maslakul Huda mulai mengembangkan sistem
pendidikannya. Kegiatan di pesantren ini
tidak hanya mengajarkan al-Qur’an dan kitab-kitab klasik dengan sorogan dan
bandongan saja, tetapi sudah menggunakan model pengajaran yang lebih modern. Kegiatan
belajar para santri sudah menggunakan pola dialogis seperti musyawarah atau
diskusi, sebagai pengembangan muraja’ah (mengulang pelajaran) dan muzakarah
(mengkaji bahan pelajaran). Mata pelajaran di pesantren pun ditambah dengan
ilmu-ilmu umum seperti bahasa asing dan ilmu kemasyarakatan.
Tidak hanya aktif membina pesantren, KH. Sahal
Mahfudh juga aktif di dunia kampus dengan menjadi dosen kuliah Takhassus tahun
1966-1970 di Kajen dan menjadi dosen di Fakultas tarbiyah Uncok Pati tahun
1974-1976. Kemudian pada tahun 1982-1985 menjadi dosen di Fakultas Syariah IAIN
Walisongo Semarang. Selain itu ia juga aktif sebagai kolumnis di Majalah Aula
(1988-1990) dan kolumnis tetap di Harian Suara Merdeka Semarang sejak 1991. ia
juga menjabat sebagai Rektor INISNU hingga menjadi UNISNU sejak tahun
1989-2014. Sebelumya pada tahun 1980 ia pernah menjabat sebagai ketua MUI
cabang Pati, kemudian menjabat sebagai Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Tengah
selama 10 tahun, terhitung sejak tahun 1990 hingga tahun 2000. Karirnya
berlanjut ke tingkat nasional sebagai Ketua Umum MUI Pusat selama tiga periode,
yaitu sejak tahun 2000 hingga 2014.[3]
Gagasan Fiqh Etika dan Sosial Sebagai Solusi Problematika Umat
Formulasi
gagasan fiqh sosial yang dirumuskan oleh KH. Sahal Mahfudh berpijak pada sebuah
pandangan bahwa seorang muslim harus berusaha keras untuk mencapai sa’adatuddarain
(kesejahteraan dunia dan akhirat).[4] Pemenuhan
kebutuhan spiritualitas jelas menjadi tujuan utama karena kebahagiaan akhirat
hanya dapat diwujudkan apabila manusia memenuhi kebutuhan spiritualnya. Namun
di sisi lain, manusia juga harus dihadapkan pada kenyataan bahwa ia harus
tunduk pada hukum-hukum yang mengikat kehidupan dunianya. Maka kehidupan dunia
yang sepenuhnya bersifat kontemporer dan maya berhubungan secara integratif dan
kausatif dengan kabahagiaan ukhrawi yang kekal dan hakiki. Meskipun selintas
tampak kontradiktif, sebetulnya tidak ada yang aneh dalam hal ini karena
akhirat hanya menyediakan satu-satunya jalan bagi pencapaiannya, yaitu
kehidupan dunia.[5]
Untuk
memperkuat landasan fiqh sosialnya, KH. Sahal Mahfudh menyebut konsep al-mashlahah
al-‘ammah (kepentingan umum) sebagai salah satu landasan hukum dan menjadi
pertimbangan terdepan dalam membuat suatu kebijakan.[6] Al-mashlahah
al-‘ammah ini kemudian secara teknis dioperasionalkan oleh kalangan fuqaha
dalam istilah maqashid al-syari’ah (tujuan utama syariat) yang meliputi
pemeliharaan atas agama, akal, jiwa, nasab (keturunan), dan harta benda.
Tokoh
yang sangat berjasa dalam meletakkan kelima komponen maqashid al-syari’ah di
atas adalah al-Ghazali yang memasukkannya dalam kategori dharuriyyat
(kebutuhan primer) di samping hajiyyat (kebutuhan sekunder) dan tahsiniyyat
(tersier). Maqashid al-syari’ah ini kemudian di tangan al-Syatibi
menjadi disiplin keilmuan yang mandiri mengingat ilmu ini sebelumnya hanya
menjadi bagian kecil dalam kajian ushul fiqh. Di perjalanan selanjutnya, maqashid
al-syari’ah tidak hanya digunakan sebagaa sebuah landasan dalam kajian fiqh
dan ushulnya, tetapi sudah masuk dalam wilayah kajian tafsir al-Qur’an sehingga
muncullah corak penafsiran maqashidi. Di
Indonesia, mata rantai kluster keilmuan maqashid al-syari’ah ini
diteruskan dan diterjemahkan ke dalam lokalitas masyarakat oleh KH. Sahal
Mahfudh sehingga muncullah fiqh sosial sebagai operasionalisasi dari komponen maqashid
al-syari’ah tersebut. KH. Sahal telah memberikan kontribusi yang sangat
penting dalam khazanah pemikiran hukum Islam di Indonesia kontemporer, dan bisa
disebut kontribusi yang diberikan terbilang unik. Hal itu karena KH. Sahal
setidaknya berkontribusi dalam dua sisi, yaitu sisi gagasan dan sisi
implementatif.
Dari
sisi gagasan, KH. Sahal telah meramaikan diskursus fiqh Indonesia dengan
mempopulerkan gagasan fiqh sosialnya yang menegaskan bahwa mengatasi masalah
sosial yang kompleks dipandang sebagai perhatian utama syariat Islam.[7]
Adapun dari sisi implemetatif, KH. Sahal mengimplementasikan semangat dan
ajaran fiqh sosial dengan menggerakkan para santri dan masyarakat dalam
mengelola lembaga swadaya seperti BPPM untuk memecahkan problem sosial saat
itu. Dengan demikian, kata KH.
Sahal, fiqh sosial memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai alat untuk mengukur
realitas sosial dengan ideal-ideal syariat yang berujung pada hukum halal atau
haram, boleh atau tidak boleh, dan pada saat yang sama menjadi alat rekayasa
sosial, atau social control dan fungsi hukum sebagai social engineering
sebagaimana dalam ilmu hukum. Pemikiran
KH. Sahal bahwa fiqh memiliki fungsi ganda ini agaknya merujuk pada pandangan
yang berkembang dalam kajian ilmu hukum. Seperti dikemukakan oleh Satjipto
Rahardjo, jika hukum dihadapkan dengan perubahan sosial maka ia akan menempati
salah satu dua fungsi. Pertama, bisa berfungsi sebagai saran kontrol sosial
(social control) atau sarana untuk mempertahankan solidaritas sosial. Hukum
berfungsi demikian karena tertinggal dari perubahan. Kedua, hukum bisa pula
berfungsi sebagai sarana mengubah masyarakat (social engineering). Dalam
hal ini, hukum dipandang sebagai sarana pengubah struktur sosial yakni apabila
perubahan sosial terlambat dari perubahan hukum sehingga hukum dengan segala
perangkatnya berperan untuk membawa masyarakat ke dalam suatu tatanan baru.[8] Hanya saja, pikiran KH. Sahal memiliki
kekhasan karena berusaha memadukan kedua fungsi itu dalam satu garis kontinum
atau satu rangkaian kesatuan. Hal ini kemungkinan didasari sikap kehati-hatian
KH. Sahal untuk tetap mengakomodasikan keberadaan fiqh yang substansinya
memiliki keterkaitan langsung dengan ketetapan ilahian atau bukan semata-mata
produk pemikiran manusia.
Dalam
analisis KH. Sahal, kedua fungsi hukum itu hanya mungkin direalisasikan jika
produk dan perangkat penalaran yang dimiliki fiqh dikembangkan secara
kontekstual. Dalam hal ini, menarik untuk mengangkat hasil yang telah
dirumuskan oleh serangkaian halaqah NU yang bekerja sama dengan dengan RMI dan
P3M bahwa fiqh sosial memiliki lima ciri pokok yang menonjol. Pertama,
interpretasi teks-teks fiqh secara kontekstual. Kedua, perubahan pola bermazhab
dari bermazhab secara tekstual (qauli) ke bermazhab secara metodologis (manhaji).
Ketiga, verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang
cabang (furu’). Keempat, fiqh dihadirkan sebagai etika sosial, bukan
hukum positif negara. Kelima, pengenalan metodologi pemikiran filosofis,
terutama dalam masalah budaya dan sosial.[9]
Kesimpulan
Gagasan fiqh sosial bukan sesuatu yang sepenuhnya baru karena fiqh
pada dasarnya sudah mengandung dimensi sosial kemasyarakatan. KH. Sahal Mahfudh
mempopulerkan terma fiqh sosial di belantara pemikiran hukum Islam di Indonesia
bertujuan untuk merekonstruksi pemahaman umat Islam yang memandang fiqh selalu
identik dengan permasalahan ubudiyyah. Di tangan KH. Sahal, fiqh yang
pada awalnya merupakan diterminer kebenaran orthodoksi berubah haluan menjadi
pemaknaan sosial.Fiqh sosial memandang bahwa urusan memecahkan berbagai macam
persoalan kemasyarakatan yang sangat kompleks merupakan salah satu tujuan utama
syariat Islam yang terakomodir dalam maqashid al-syariah. Konsep al-mashlahah
al-‘ammah (kepentingan umum) menjadi pijakan dasar dalam proses pengambilan
hukum di dalam kajian fiqh sosial. KH. Sahal tidak hanya berkontribusi dalam
mempopulerkan fiqh sosial dalam tataran gagasan, tetapi juga telah
mengoperasionalkannya secara nyata dalam tataran implementatif. Upaya KH. Sahal
ini perlu diapresiasi dengan menyebarkannya, khususnya di kalangan pesantren
agar pemahaman yang kaku dan tekstual atas fiqh dapat diminimalisir. Selain
itu, gagasannya perlu ditindaklanjuti agar juga bisa berkontribusi dalam
menjawab tantangan kontemporer.
[1]
Arif Agus
Trisno, “Biografi KH. Sahal Mahfudh (1937-2014)”, Skripsi Fakultas Adab dan
Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga tahun 2014, hlm. 26
[2]
Faiqoh, Nyai
Agen Perubahan di Pesantren, (Jakarta: Kucica, 2003), hlm. 204
[4] Sahal Mahfudh,
Nuansa Fiqh Sosial , hlm. xxvii
[5] Sahal Mahfudh,
Nuansa Fiqh Sosial , hlm. xxvii
[6] Sahal Mahfudh,
Nuansa Fiqh Sosial , hlm. xx
[7] Sahal Mahfudh,
Nuansa Fiqh Sosial , hlm. 8
[8] Satjipto
Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial (Bandung: Alumni, 1983) hlm. 193
[9] Sahal Mahfudh,
Nuansa Fiqh Sosial , hlm. xxxvi