Selamat Datang Di Blog Sederhana Saya

Friday 3 January 2020

Bagaimana Penerapan Kepemimpinan dari Sudut Pandang Islamic Leadhersip


Bagaimana Penerapan Kepemimpinan dari Sudut Pandang Islamic Leadhersip
Oleh : Satria Avianda Nurcahyo

Menurut Muhammad Imaduddin ‘Abdulrahim dalam bukunya yang berjudul Islam Sistem Nilai Terpadu mengatakan, bahwa kepemimpinan dalam Islam berlandaskan pada nilai teologis, nilai sosial dan pertanggungjawaban diri. Secara teologis, bahwa kepemimpinan merupakan amanat dari Allah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Ini merupakan landasan yang bersifat vertikal dimana insan bertuhan harus mengorientasikan diri kepada-Nya dalam setiap aspek kehidupan. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya telah Kami tawarkan suatu amanah kepada langit, bumi, beserta gunung-gunungnya, tetapi mereka enggan menanggungnya dan takut akan risikonya,  maka manusia memikulnya, sungguh manusia itu zhalim dan jahil.” (QS. al-Ahzab : 72). Kepemimpinan merupakan amanat dari Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya yang ingin berkarya dan beramal di dunia. Manusia sadar atau tidak telah menerima amanat yang harus dipimpinnya ketika hidup di dunia ini. Allah Ta’ala berfirman: “Ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat, ‘Aku akan menjadikan (manusia) sebagai khalifah di bumi, malaikat berkata, ‘apakah Engkau akan mengisi bumi dengan manusia yang suka berselisih dan menumpahkan darah, padahal kami tetap bertasbih memuji dan mensucikan Engkau’, (Allah) berkata. ‘Aku lebih mengetahui apa-apa yang tidak kalian ketahui.” (QS. : al-Baqarah : 30). Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menegaskan maksud-Nya menciptakan manusia, yaitu untuk menjadi khalifah atau wakil-Nya mengurus dunia ini. Malaikat khawatir terhadap manusia apabila menanggung amanat sebagai pengurus dunia maka mereka akan merusak, berselisih, dan menumpahkan darah. Memang benar, apa yang dikhawatirkan malaikat tersebut terhadap manusia sebagai khalifah di bumi yang tidak sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan tidak bertanggungjawab telah menimbulkan kerusakan dan kebinasaan.
Kemampuan yang tidak kalah penting adalah suri tauladan. Manusia yang dapat dijadikan suri tauladan adalah baginda besar Nabi Muhammad SAW. Allah berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dam (kedatangan) hari kiamat dan dia menyebut nama Allah.” (QS. al-Ahzab : 21). Oleh karena itu, bagi pengikut Nabi Muhammad SAW selayaknya bisa mencontoh beliau dan dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan memberikan suri tauladan pula pada sesama dalam mengembangkan jiwa kepemimpinan.
Filosofi seorang imam shalat berjamaah dapat dijadikan contoh terkait pilar suri tauladan ini. Para jama’ah shalat tidak akan rukuk sebelum imam rukuk terlebih dahulu. Seorang imam ketika pindah gerakan, maka ia terlebih dahulu melakukan gerakan itu, lalu membaca takbir tanda perintah untuk berpindah gerakan tersebut. Artinya adalah seorang pemimpin itu memerintah bawahannya harus bisa berbuat terlebih dahulu agar bisa dicontoh oleh orang lain. Ini berarti bentuk perintah secara tidak langsung bagi orang lain untuk melaksanakan sesuatu untuk mencapai tujuan organisasi. sifat kepemimpinan beliau disegani kawan dan dihormati lawan sekalipun.
1. Shiddiq (Jujur). Ini adalah sifat kejujuran yang sangat ditekankan Rasul baik kepada dirinya maupun pada para sahabat-sahabatnya (Semoga kita juga meneladaninya).Adalah ciri seorang muslim untuk jujur. Sehingga Islam bukan saja menjadi sebuah agama namun juga peradaban besar.
2.Amanah(bisa dipercaya). Sifat ini ditanamkan khususnya kepada para sahabat yang ditugaskan di semua hal apa saja untuk bisa berbuat amanah, tidak curang (atau juga korupsi di zaman sekarang) dalam hal apa saja. Sesuatu yang sekarnag menjadi sangat langka di negeri muslim sekalipun (miris).
3. Tabligh (Menyampaikan yang benar). Ini adalah sebuah sifat Rasul untuk tidak menyembunyikan informasi yang benar apalagi untuk kepentingan umat dan agama. Tidak pernah sekalipun beliau menyimpan informasi berharga hanya untuk dirinya sendiri. Subhanallah.
4. Fathonah (Cerdas).Sifat Pemimpin adalah cerdas dan mengetahui dengan jelas apa akar permasalahan yang dia hadapi serta tindakan apa yang harus dia ambbil untuk mengatasi permasalahan yang terjadi pada umat. Dengan mengenal beberapa sifat tadi, kita mungkin bisa sedikit mengerti kenapa Seorang Rasulullah yang ummi (tidak bisa membaca) mampu menjadi seorang Nabi, Rasul,Kepala Keluarga, Ayah, Suami, Imam Shalat, Pimpinan Umat, Pimpinan Perang menjadi sangat sukses dalam setiap hal yang beliau geluti. Semoga menjadi landasan bagi kita dan para pemimpin muslim untuk mampu meneladani apa-apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Pesan Rasulullah Muhamad SAW untuk memilih Pemimpin
·         Laki Laki
Wanita sebaiknya tidak memegang tampuk kepemimpinan. Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda,”Tidak akan beruntung kaum yang dipimpim oleh seorang wanita (Riwayat Bukhari dari Abu Bakarah Radhiyallahu’anhu).
·         Tidak Meminta Jabatan
Rasullullah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu’anhu,”Wahai Abdul Rahman bin samurah! Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin. Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepada kamu karena permintaan, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan kepada kamu bukan karena permintaan, maka kamu akan dibantu untuk menanggungnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
·         Memutuskan Perkara Dengan Adil
Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali ia akan datang dengannya pada hari kiamat dengan keadaan terikat, entah ia akan diselamatkan oleh keadilan, atau akan dijerusmuskan oleh kezalimannya.” (Riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir).
·         Bersama Rakyat
Hendaklah selalu membuka pintu utk setiap pengaduan dan permasalahan rakyat. Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorg pemimpin atau pemerintah yg menutup pintunya terhadap keperluan, hajat, dan kemiskinan kecuali Allah akan menutup pintu-pintu langit terhadap keperluan, hajat, dan kemiskinannya.” (Riwayat Imam Ahmad dan At-Tirmidzi).















Asmaul Husna Al Malik dalam Prespektif Kepemimpinan Islami

Dalam Al Qur’an, kata Malik diulang sebanyak 5 kali, dua diantaranyadirangkaikan dengan kata haq yang berarti “pasti” dan “sempurna”.Secara umum Al Malik diartikan Raja atau Penguasa, kata Malik terdiri dari huruf Mim Laam Kaaf yang rangkaiannya mengandung makna “kekuatan” dan “Keshahihan”, ini menunjukkan bahwa Allah adalah segala kekuatan yang ada di alam semesta ini yang shahih dan tidak dapat di ingkari lagi kekuasaan-Nya meliputi semesta alam dan pengetahuan yang ada.Al Malik dalam Al Qur’an menyebutnya Raja Yang Maha Berkuasa (yang Mutlak kekuasaannya), Menurut AL Ghazali Malik adalah “yang tidak butuh pada zat dan sifat-Nya segala yang wujud, bahkan Dia adalah yang butuh kepada-Nya, Wujud segala sesuatu bersumbr dari pada-Nya. Maka segala sesuatu selainnya menjadi Milik-Nya dalam zat dan sifat-Nya serta membutuhkan-Nya. Itulah Raja Yang Mutlak.
Firman Allah dalam Surat Thaaha: 114
“Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenar-benarnya” (Q.S. At Thaaha:114)
Sudahlah jelas bahwa Allah adalah Raja Yang sebenar-benarnya segala bentuk raja di dunia dan semsta ini adalah miliknya dan tunduk kepada-Nya, selain merajai di dunia yang fana ini, kerajaan Allah juga bersifat langgeng (abadi).
Di terangkan dalam Firman-Nya dalam surat Al Mu’minun : 16
“(yaitu) hari (ketika) mereka keluar (dari kubur); tiada suatu pun dari keadaan mereka yang tersembunyi bagi Allah. (lalu Allah berfirman):”Kepunyaan siapa kerajaan pada hari ini? ”Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan” (Q.S. Al Mu’minun:16).
Di terangkan lagi dalam surat Al Fatihah : 4
“Yang Mengusai hari Pembalasan” (Q.S. Al Fatihah:4)
Dengan begitu Allah yang menguasai pengetahuan dan segala urusan tentang hari pembalasan, yang mengusai waktu yang telah lalu dan yang akan datang. Dunia dan seisinya dalam genggaman-Nya.
Dalam Hadits Rasulullah
“Allah Yang Maha Mulia Lagi Agung ‘menggenggam’ bumi pada hari kemudian dan ‘melipat’ semua langit dengan ‘tangan kanan-Nya’, kemudian berseru: Aku Adalah Malik (Raja), maka dimanakah (mereka yang mengaku) Raja?” (H.R. Bukhori).



Alasan Allah yang menguasai Hari Kiamat :
1.    Karena pada hari itu Allah menggantikan Bumi dan Langit ini dengan bumi dan langit yang lain.
Allah menjelaskan dalam Firman-Nya
“(Yaitu) pada hari ketika bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) mereka semua ( di Padang Masyhar) berkumpul menghadap kehadirat Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa” (Q.S. Ibrahim:48).
2.    Dalam kehidupan ini, manusia juga memiliki sifat “memiliki”, dan ini akan di pertanggung jawabkan dan segala yang dimilikinya itu akan terlepas sendirinya.
“dan benarlah Perkataan-Nya, di tangan-Nyalah segala Kekuasaan diwaktu sasangkala ditiup”  (Q.S. Al An’am:73)
Itulah gambaran bagaimana Allah Maha Berkuasa dan Betapa Allah Merajai Segala sesuatunya.
Peran Al Malik dalam Prespektif Kepemimpinan

1.      Tidak terlena akan Jabatan/Tahta
Dengan sifat memiliki manusia seakan memiliki segalanya, dengan memaknai Al Malik ini manusia harusnya sadar apabila kita sedang diatas ada lagi yang lebih Maha Tinggi dan itu akan menjadi koreksi dan motivasi kita bahwa Jabatan yang kita emban adalah sebuah amanat dan akan dipertanggungjawabkan, kekuasaan duniawi adalah fana ataupun sementara seadngkan kekuasaan Allah adalah Mutlak dan Abadi.
Rasulullah bersabda:
“Orang yang dibenci oleh Allah serta yang paling jelek besok pada hari Kiamat adalah seorang yang menamakan dirinya dengan nama raja diraja, karena tiada Dzat yang bersifat Raja Kecuali Allah” (H.R. Muslim).
2.       Mengendalikan Hawa Nafsu
Dengan dapatnya kita memaknai sifat Al Malik, kita tahu bahwa yang menguasai segalanya adalah Allah semata, dengan begitu kita tahu bahwa hawa nafsu adalah bujukan syetan yang akan hanya menjerumuskan kita kepada hal-hal negatif dan itu merupakan contoh ketundukan kita kepada syetan. Jadikanlah hawa nafsu menjadi pahala bagi kita dengan mengedepankan yang halalan toyyiban, dan yang menjadi hak kita bolehlah kita nafsu terhadap itu.


3.       Menjadi Hamba Yang Bersyukur
Memaknai sifat Al Malik berarti kita mengakui tentang kekuasaan Allah di bumi dan langit, serta di dalam kedalam hati kita setiap mahluk-Nya. Dan dengan serta merta kita harus mensyukuri segala nikmat yang telah diberi, itu adalah hamba yang menunjukkan bahwa kiata adalah hamba yang pintar bersyukur.
4.       Mengharap Pertolongan Allah
Sebagai Yang Maha Kuasa, Allah lah yang menentukan segala urusan yang akan kita hadapi dan telah kita hadapi, Dia lah yang mengetahui segala pengetahuan tentang alam dan isinya serta yang tahu akan kedalaman hati seseorang. Segala apa yang kita ikhtiarkan tergantung pada ketentuannya karena Dia Yang Maha Kuasa, dengan mengharap pertolongan Allah berarti kita menunjukan sikap yang menumbuhkan kekuatan bathin dalam menghadapi segala sesuatu. Sebaliknya dengan tidak mengharapkan pertolongan dari Allah merupakan cerminan sikap yang angkuh.
Kesimpulan
Dengan meyakini dan memaknai Al Malik kita mempunyai landasan hidup yang mapan dan mantap, sehingga kebal akan bujuk rayu syetan terhadap kita. Tidak ada yang ditakuti selain Allah karena Dia lah yang patut untuk diminta pertolongan dan kita senantiasa takut akan ajabnya, tidak takut akan kehilangan jabatan dan harta karena ada Yang Maha Raja dan kekuasaanya meliputi alam semesta, karena Allah senantiasa bersama orang-orang yang selalu mengingat-Nya.tidak akan kalah dengan perasaan malas dan putus asa sehingga giat dalam belajar, berusaha dan bekerja serta optimis menjalani hidup, karena semua adalah dalam kekuasaannya dan menjalani hidup dengan bersandar terhadap ketentuan Yang Maha Raja, Allah SWT.











DAFTAR PUSTAKA

Prof. DR. Abdullah Ad-Dumaiji, Al-Imamah Al-Uzmah inda Ahlus Sunnah wal Jama’ah(Konsep Kepemimpinan Dalam Islam) 2009 Ummul Qura Press
Abdul Hakim (2007) Kepemimpinan Islami. Semarang : Unissula Press

Anshari (1993) Wawasan Islam: Pokok-Pokok Pikiran tentang Islam dan Umatnya. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.

No comments:

Post a Comment