Dakwah Religion
(Fenomena Dakwah Artis Melalui Media)
Oleh
: Satria Avianda Nurcahyo
Di era informasi
canggih seperti sekarang ini, tidak mungkin dakwah masih hanya menggunakan
pengajian di mushalla yang hanya diikuti oleh mereka yang hadir di sana.
Penggunaan media-media komunikasi modern addalah sebuah keniscayaan yang harus
dimanfaatkan keberadaannya untuk kepentingan menyampaikan ajaran-ajaran Islam
atau dakwah Islam.Gaya penyampaian dakwah yang benar-benar baru ini langsung
menerima sambutan hangat dari publik. Dakwah para da’i dan artis saat ini
banyak yang direkam di CD dan di jual bebas,sehingga mudah bagi masyarakat
untuk mendapatkan pesan dakwah dari para da’i dan artis yang diidolakan. Saat
ini bisa dikatakan di setiap kota di Indonesia yang memiliki penduduk mayoritas
beragama Islam, pasti dapat dengan mudah mendengarkan pesan-pesan dakwah baik
melalui stasiun radio maupun televisi.
Fenomena dakwah
agama di Indonesia ini adalah salah satu contoh sempurna untuk menunjukkan
bagaimana lentur dan canggihnya Ideologi Kapitalisme bekerja menginfiltrasi dan
merasuki semua ideologi bahkan agama yang secara formal menentangnya. Profesi
Da’i pun tiba-tiba menjadi sebuah profesi yang bonafide dan menjanjikan.
Sehingga mulai muncul da’i-da’i baru dengan gaya masing-masing. Dan sejak saat
itu kitapun menyaksikan bisnis dakwah ini menjadi tidak ada bedanya dengan
bisnis-bisnis konvensional yang untuk bisa sukses pelaku bisnis ini dalam
menyusun strategi pemasaran harus jeli melakukan segmentation, tergeting dan positioning.Belakangan
dengan semakin banyaknya muncul ustadz baru yang populer, persaingan di dunia
per da’i-an ini pun semakin sengit, sehingga kreatifitas dalam merebut pasar
dakwah ini pun harus semakin tinggi, sebegitu kreatifnya bahkan sampai ke
hal-hal yang dulunya tidak pernah terbayangkan akan terjadi di dunia dakwah
sekarang bisa kita saksikan di layar televisi dan media lainnya. Melalui
tayangan televisi akan kita dapatkan beberapa program yang bernafaskan Islam,
misalnya sinetron “Tukang Bubur naik Haji”, “Pesantren Rock n Roll”. Tanyangan
pemburu hantu yang terdiri dari lima ustad dengan pakaian hitam dan sorbannya
yang membantu korban dengan membacakan do’a-do’a. Reality Game Show Islami yang
bisa kita lihat pada acara “pildacil” yang ingin mencetak generasi da’i cilik.
Infomercials Penyembuhan alternatif baik melalui metode “rukyah” maupun metode
“zikir”. Begitu juga dengan Islam dalam iklan, misalnya ustad maulana dalam
iklan telkomsel, mamah dedeh dengan iklan “cap kaki tiga”. Begitu juga ustad
Yusuf Mansur dengan iklan “fatigon Spirit”. Hal tersebut menurut Sofjan (2013:
51)[1],
agama dan figur-figur keagamaan dilihat sebagai alat efektif dalam peningkatan
citra dan kesadaran atas merek serta pemasaran. Sebagai panggung efektif untuk
berkomunikasi dengan para konsumen, jelas terlihat bahwa televisi memandang
agama dan figur-figur keagamaan sebagai mitra untuk melanggengkan industry
melalui iklan dan pemanfaatan fungsional agama secara efektif .Dalam situasi
menonton atau membaca memengaruhi makna dan kesenangan akan sebuah karya dengan
mengajukan serangkaian determinasi ke dalam pertukaran kultural, baik
kontradiktif maupun ditolak. Resistensi dan kontradiksi muncul karena perbedaan
kultural dan sosial pembaca atau penonton menurut kelas, gender, ras, usia,
sejarah, agama, pribadi, dan seterusnya.
Dalam kasus film Ayat-Ayat Cinta atau film-film bernuansa
religius lainnya misalnya, apabila terus-menerus ditayangkan, dan dalam konteks
tablig sebagaimana tujuan tablig misalnya, pemeran film (aktris merupakan
konsumen pasif atas penonton. Implikasinya, tema-tema dan topik jalan cerita film
bisa langsung dikonsumsi pemirsa, bersifat langsung dan menyerap pada
saraf-saraf jiwa secara afektif.Salah satu unsur yang sangat khas dan ditemui
hampir dalam semua film maupun sinetron Islami antara lain adalah penampilan
pakaian perlengkapan dan aksesoris Islami yang sesuai dengan mode saat yang
dikenakan oleh para actor maupun aktris dalam film maupun sinetron tersebut,
akhirnya menjadi tren remaja muslim maupun orang dewasa di negeri
ini.Penyampaian pesan-pesan Islam tidak lagi dengan kata-kata bahwa berkerudung
itu wajib, menutup aurat itu kemestian seorang muslimah, apalagi bahasa-bahasa
seperti hijab (arti katanya adalah menutup). Karena kata-kata tersebut
kurang mengena arus kultur masyarakat,
atau dalam bahasa lain, kata-kata tersebut tidak sesuai dengan perkembangan
budaya masyarakat, dalam hal ini adalah budaya pop. Inilah salah satu kelebihan
berdakwah melalui media, seperti televisi dan film (Aripudin, 2013: 37-38)[2].
Saat ini banyak
majalah yang menyuguhkan fashion muslim dan atribut-atribut lain yang sesuai
dengan syari’ah. Misalnya, majalah Aulia
dan Paras yang beritanya banyak
didominasi pada dunia fashion islami. Perihal penyampaian pesan-pesan Islam
melalui majalah, pertama-tama yang harus diperhatikan, berkaca pada
majalah-majalah sebagaimana tersebut dimuka adalah bagaimana meposisikan
pesan-pesan Islam memasuki segmen pasar itu. Bagaimana remaja solehah misalnya,
tidak hanya kata-kata yang keluar dari mulut, apalagi mulutnya bau, tapi
terpampang dalam majalah dalam bentuk visual. Kata saleh tidak hanya terpampang
dalam kitab-kitab kuning atau Quran yang suci, tetapi terpampang dalam majalah
yang putih, juga berwarna, dan “tidak suci” sehingga mudah disentuh oleh siapa
saja. Upaya melakukan trasfer pesan nilai-nilai Islam melalui musik dilakukan,
meskipun terkesan dipaksakan, melalui nasyid (metode seni mendekat kepada
Tuhan) dan lirik-lirik lagu pop yang bernuansa keagamaan. Sebagai contoh, syair
lagu berjudu Santri yang dinyanyikan
Armand Maulana vokalis Grup Band Gigi. Lagu tersebut, semula adalah lagu
kasidah yang dinyanyikan vokalis grup kasidah Nasyidaria di Tasikmalaya. Lagu
tersebut, semua populer di kalangan terbatas para santri dan masyarakat
perdesaan. Kemudian ketika masuk dalam nuansa musik pop, lagu Santri dinyanyikan, digemari, dan
didendangkan juga oleh kalangan mahasiswa. Pergeseran nuansa dan lirik lagu
dari tradisional ke populer seperti lirik lagu Santri, menggambarkan adanya
timbal balik bukan hanya simbolik, tetapi juga dimensi ekonomis komunikasi
publik.
Dengan demikian,
budaya yang disediakan oleh pasar hiburan komersial memainkan peran penting. Ia
mencerminkan sikap dan sentimen yang telah ada di sana. Pada saat bersamaan
menyediakan wilayah yang penuh ekspresi serta sederet simbol yang melalui
simbol itu sikap tersebut bisa diproyeksikan (interaksi simbolik). Dakwah
merupakan kewajiban bagi setiap umat Islam, baik itu pemaknaan pada fardhu ‘ain
maupun fardhu kifayah. Melihat perkembangan dunia komunikasi dan informasi
melalui alat-alat modern saat ini, tentunya akan menghampiri dakwah Islam juga.
Memaknai dakwah yang sifatnya ajakan, seruan atau usaha untuk mengubah dari
satu situasi kepada situasi yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap pribadi
maupun masyarakat. Perwujudan dakwah bukan sekedar usaha peningkatan pemahaman
dalam tingkah laku dan pandangan hidup saja, tetapi juga mampu menuju sasaran
yang lebih luas.[3]
Melihat masyarakat
Indonesia saat ini yang memiliki gaya hidup hedonis dan lebih mengandalkan pada
kenikmatan-kenikmatan yang bersifat praktis, Kecenderungan manusia dalam term
dakwah ini membawa pengaruh unsure-unsur sosial. Begitu juga dengan para
da’inya yang mempunyai akses pada saluran-saluran yang diminati dalam budaya
masyarakat. Sedangkan da’i yang kurang memiliki akses terhadap elemen-elemen
budaya pop seperti terjadi saat ini akan tergeser dan tergusur oleh da’i yang
lebih menguasai (da’i yang mampu menggenggam dunia) dalam budaya dakwah artis
hijrah yang berkembang di masyarakat Indonesia.
[1]
Dicky Sofjan, 2013, Agama dan Televisi di Indonesia: Etika Seputar
Dakwahtainment, Geneva: Globethics.net Focus 15.
No comments:
Post a Comment